... Bunga (nama samaran) sedang
berbahagia setelah Jaka menembaknya semalam. “Inilah mimpi menjadi kenyataan.
Jaka itu pria idaman wanita, mapan, tampan, dan memiliki simpanan”, Bunga
berbincang dalam hati tentang betapa beruntungnya dia. Singkat cerita, setelah
beberapa puluh kali mereka pergi berdua di akhir pecan, akhirnya Jaka melamar
Bunga dan meminta dia untuk menikahinya. Sontak, seluruh keluarga larut dalam
kebahagiaan. Wanita dalam keluarga mereka akan menikah dengan seorang pria
idaman yang mendekati sempurna. Dan kemudian pernikahan itu berlangsung dengan
diiringi kebahagiaan kedua insan dan keluarga besar...
(Itu adalah akhir dari seluruh
kisah baik novel, film fiksi, maupun film kartun di dunia ini tentang bagaimana
kisah hidup seorang wanita)
... Jaka ternyata adalah seorang
pemalas dan berjiwa kerdil. Ia tidak pernah mau mengerjakan seluruh urusan
rumah tangga. Pun bila Bunga salah, ia tidak segan untuk memarahinya seakan –
akan dunia mau runtuh nanti jam 4 sore. Upik
Abu yang menjadi seorang Putri untuk beberapa tahun tersebut mendapati bahwa
dirinya kembali menjadi Upik Abu hanya saja dalam balutan gaun yang mewah. Ia kehilangan gairah hidupnya, dan hingga
suatu saat karena didorong rasa frustasi, akhirnya mengajukan tuntutan
perceraian kepada Jaka. Bunga seakan terbangun dari sebuah mimpi aneh membuat
dia memandang sang calon mantan bukan lagi sebagai pria idaman, melainkan pria
ampasan ...
Cerita itu memang hanya fiksi tetapi juga dapat menggambarkan hubungan berpasangan di Jakarta. Kisah tentang lelaki dan wanita yang dimabuk asmara memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke pelaminan dan (tak disangka - sangka) berakhir dengan perceraian. Data dari
Pengadilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), pada kurun waktu di tahun
2010, terdapat sekitar 285.184 perkara perceraian, yang melonjak 81% dari
tahun 2005.Penyebab perceraian pun bermacam-macam, mulai dari ketidakcocokan dalam berumah tangga,
cemburu, keadaan financial, dan bahkan perbedaan ideologi dalam hidup
berpolitik. Kisah Bunga hanya menjadi sedikit puncak gunung es yang terlihat di permukaan laut.
Institusi pernikahan merupakah
suatu lembaga yang disakralkan di Indonesia, yang tercermin melalui ragam adat dan budaya yang harus ditaati ketika melaksanakan sebuah resepsi. Konon, persiapan haruslah melalui penyelidikan terhadap pasangan oleh keluarga besar (semacam Fit & Proper Test CaGub BI kali ya..), finansial, waktu, dan bahkan
belakangan, ketersediaan gedung juga ikut berperan. Pada beberapa pasangan lain, salah satu bentuk persiapan adalah dengan membuka rekening tabungan atas nama bersama untuk biaya resepsi pernikahan, kemudian menyewa jasa EO untuk membantu persiapan, berburu gedung, menemui peramal untuk
menghitung hari baik, hingga kemudian busana yang akan dikenakan. Luar biasa
meriah, luar biasa sibuk, dan luar biasa melelahkan. Semua focus dan
konsentrasi dicurahkan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan peristiwa ini. Konon
katanya, bahkan tingkat konsentrasi pelaksanaan resepsi pernikahan lebih tinggi
dibandingkan tingkat konsentrasi pelaksanaan Pemilu di Indonesia (yang
nyata-nyata menentukan hajat hidup ratusan juta orang). Tetapi apakah arti dari
semua keriaan, kesibukan, kebahagiaan tersebut bila kemudian harus ada yang
namanya perceraian, harus ada sebuah titik akhir?
Bila kita memutuskan membeli
sebuah kendaraan, pasti terlebih dahulu kita melakukan pembandingan terhadap
beberapa kriteria jenis kendaraan pilihan kita, bahkan selalu memaksakan test drive terlebih dahulu sebelum
akhirnya melakukan pembayaran. Sebandingkah uang ratusan juta rupiah yang
digelontorkan dengan manfaat yang didapat? Apakah kendaraan tersebut mampu
mendukung fungsionalitas harian sang pemilik, atau malah memberatkan dan menjadi
sumber masalah baru? Apakah harga jual kembalinya masih kompetitif dengan harga
pasar? Karena itu, seorang calon pemilik, pasti akan berpikir taktis dan
sistematis sebelum menjatuhkan pilihan terhadap jenis kendaraan yang akan
dibeli. Kalau kita sedemikiaan taktis dan sistematis dalam hal memilih dan
membeli kendaraan, mengapa kita tidak demikian dalam memilih dan menikahi pasangan?
Bagaimana bila hal serupa juga dilakukan dalam sebuah hubungan sebelum mencapai
tahap pernikahan (pembayaran uang muka cicilan pembelian kendaraan)?
Tentu saja sulit mengaplikasikan
teknik serupa dalam hal pernikahan, karena budaya kita yang mencap buruk samen
wonen atau samen leven atau tinggal bersama atau kumpul kebo. (Apa salah
kebo?) Padahal, kita selalu menuntut untuk mencoba dulu untuk item yang kita
beli. Bahkan lampu saja selalu kita test untuk memastikan produk tersebut tidak cacat dan berfungsi. Mengapa
tidak dicoba terlebih dahulu untuk tinggal bersama dengan calon pasangan
sebelum memutuskan untuk menikahinya?
Seperti apakah sifat asli
seseorang tentu sangat mustahil untuk dapat diketahui dari puluhan kali waktu
pergi berdua atau bersama keluarga atau beramai-ramai . Sebagai gambaran, kita
sendiri ketika pergi keluar dari rumah, selalu perlu beberapa waktu untuk
menentukan jenis pakaian, corak dan warnanya, bahkan sepatu yang sesuai dengan
baju yang dikenakan. Ini berarti, kita sendiri selalu menampilkan suatu kemasan
untuk membungkus diri dan kemudian dijual ke masyarakat. Lalu bagaimana
pasangan kita bisa mengetahui siapa kita, hanya dengan kencan di malam minggu,
bila kita sendiri kemudian sedari keluar rumah sudah berusaha menutupinya?
Oleh karenanya, sudahlah
seharusnya dalam urutan tangga kebahagiaan hidup berpasangan, tinggal bersama
sebelum memutuskan untuk menikah menjadi suatu kewajiban tersendiri. Biarlah
kita memberikan pasangan kita kesempatan untuk menilai seperti apa aslinya diri
kita, tanpa pembungkus atau tanpa pencitraan apapun sehingga dengan demikian,
kita bisa menghindarkan munculnya banyak Bunga yang lain.
Bila benar pernikahan adalah
sakral untuk kita, bagaimana kalau kita coba memulai untuk menjaga kesakralan
tersebut dengan berpikir lebih cerdas sebelum memutuskan melakukan pernikahan.
Uji cobalah terlebih dahulu, tinggalah bersama pasangan kita, cobalah nikmati
hidup, dan bila berhasil, barulah menikah. Hanya dengan cara ini, kita dapat
menekan angka perceraian, yang berimbas dengan kesungguhan niat kita menjaga
kesakralan makna dan lembaga pernikahan.